Bioteknologi adalah ilmu biologi molekuler. Teknik dan aplikasinya
digunakan untuk memodifikasi, memanipulasi atau merubah proses kehidupan normal
dari organisme-organisme dan jaringan-jaringan guna meningkatkan kinerjanya
bagi keperluan manusia. Bioteknologi memiliki kekhasan dalam hal kemungkinan
transfer ciri-ciri organisme melalui proses rekayasa biologi yang tidak mungkin
terjadi secara alamiah.
Tanaman transgenik adalah tanaman yang telah disisipi atau memiliki
gen asing dari spesies tanaman yang berbeda atau makhluk hidup lainnya.
Penggabungan gen asing ini bertujuan untuk mendapatkan tanaman dengan
sifat-sifat yang diinginkan, misalnya pembuatan tanaman yang tahan suhu tinggi,
suhu rendah, kekeringan, resisten terhadap organisme pengganggu tanaman, serta
kuantitas dan kualitas yang lebih tinggi dari tanaman alami. Sebagian besar
rekayasa atau modifikasi sifat tanaman dilakukan untuk mengatasi kebutuhan
pangan penduduk dunia yang semakin meningkat dan juga permasalahan kekurangan
gizi manusia Pembuatan tanaman transgenik juga menjadi bagian dari pemuliaan
tanaman.
Penemuan tanaman transgenik dimulai pada tahun 1977 ketika bakteri
Agrobacterium tumefaciens diketahui dapat mentransfer DNA atau gen yang
dimilikinya ke dalam tanaman. Pada akhir tahun 80-an Rich Jorgensen dan timnya
berupaya membuat tanaman Petunia dengan warna ungu yang lebih kuat. Tanaman
Petunia adalah tanaman bunga dengan warna-warna yang sangat menarik dan sudah
menjadi bisnis besar di Amerika dan negara-negara Eropa. Selain sebagai tanaman
hias Petunia juga sudah dimanfaatkan sebagai model untuk mempelajari biologi
molekuler pada tanaman. Akan tetapi sumbangan penelitian biologi molekuler dari
Petunia tidak besar sampai saat Rich Jorgensen dan timnya yang pada waktu itu
bekerja di DNA Plant Tech Corp, di Amerika, dan berupaya melakukan rekayasa
genetika untuk mendapatkan Petunia varietas baru dengan warna bunga seperti
yang mereka inginkan.
Fenomena yang mereka amati ternyata menjadi awal penemuan salah satu
alat biologi molekuler (molecular biology
tool) yang paling menarik dalam beberapa tahun terakhir. Pada akhir tahun
80-an Rich Jorgensen dan timnya berupaya membuat tanaman Petunia dengan warna
ungu yang lebih kuat. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperkuat
atau meningkatkan munculnya suatu sifat yang dikontrol oleh satu gen adalah
dengan cara menambah salinan gen yang berperan dalam sifat tersebut melalui
rekayasa genetika (overekspresi). Maka untuk membuat petunia dengan warna ungu
yang lebih kuat, ekstra salinan gen yang berperan dalam pembentukan pigmen ungu
dimasukkan ke dalam genom tanaman Petunia yang bunganya ungu melalui teknik
rekayasa genetika.
Sebelumnya salah satu gen yang berperan dalam sintesa pigmen warna
ungu, yaitu yang mengkodekan chalcone synthase, telah ditemukan. Oleh karena
itu mereka kemudian berupaya menambahkan satu lagi salinan gen yang mengkodekan
enzim chalcone synthase tersebut melalui proses rekayasa genetika, dengan
harapan warna ungu yang akan dihasilkan akan lebih kuat. Akan tetapi mereka
terkejut dengan hasil yang mereka peroleh, bukan bunga dengan warna ungu yang
lebih kuat yang mereka dapatkan melainkan bunga yang mempunyai variasi warna
ungu dan putih bahkan ada yang putih polos. Mereka menamakan fenomena itu
cosupression karena telah terjadi pembungkaman fungsi suatu gen (gen silencing)
tanaman (endogenous), sebagai akibat dari diintroduksikannya gen yang sama.
Untuk mengetahui penyebab fenomena menarik tersebut mereka melakukan
penelitian
lanjutan. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa kedua gen penghasil
chalcone synthase, baik yang secara alami sudah berada di genom tanaman Petunia
(endogenous), dan yang dengan cara rekayasa genetika dimasukkan ke genom
tanaman, telah melalui proses transkripsi untuk menghasilkan mRNA (messenger
RNA). Akan tetapi mRNA yang dihasilkan oleh kedua gen yang sama tersebut
ternyata sebagian atau bahkan keseluruhan langsung mengalami proses degradasi
sehingga produksi chalcone synthase tidak normal yang mengakibatkan variasi
warna pada bunga Petunia yang dihasilkan.
Proses
Pengembangan Tanaman Transgenik
Untuk membuat suatu tanaman transgenik, pertama-tama dilakukan
identifikasi atau pencarian gen yang akan menghasilkan sifat tertentu (sifat
yang diinginkan). Gen yang diinginkan dapat diambil dari tanaman lain, hewan,
cendawan, atau bakteri. Setelah gen yang diinginkan didapat maka dilakukan
perbanyakan gen yang disebut dengan istilah kloning gen. Pada tahapan kloning
gen, DNA asing akan dimasukkan ke dalam vektor kloning (agen pembawa DNA),
contohnya plasmid (DNA yang digunakan untuk transfer gen).
Kemudian, vektor kloning akan dimasukkan ke dalam bakteri sehingga
DNA dapat diperbanyak seiring dengan perkembangbiakan bakteri tersebut. Apabila
gen yang diinginkan telah diperbanyak dalam jumlah yang cukup maka akan
dilakukan transfer gen asing tersebut ke dalam sel tumbuhan yang berasal dari
bagian tertentu, salah satunya adalah bagian daun. Transfer gen ini dapat
dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode senjata gen (Particle bombardment), metode transformasi DNA yang diperantarai bakteri Agrobacterium tumefaciens, dan
elektroporasi (metode transfer DNA dengan bantuan listrik), Karbid
silikon (silicon carbide), dll.
Produk-Produk Rekayasa Genetika Tanaman
Teknologi DNA rekombinan atau rekayasa genetika telah melahirkan
revolusi baru dalam berbagai bidang kehidupan manusia, yang dikenal sebagai
revolusi gen. Produk teknologi tersebut berupa organisme transgenik atau organisme
hasil modifikasi genetik (OHMG), yang dalam bahasa Inggris disebut dengan genetically
modified organism (GMO). Namun, sering kali pula aplikasi teknologi DNA
rekombinan bukan berupa pemanfaatan langsung organisme transgeniknya, melainkan
produk yang dihasilkan oleh organisme transgenik.
Dewasa ini cukup banyak organisme transgenik atau pun produknya yang
dikenal oleh kalangan masyarakat luas. Beberapa di antaranya bahkan telah
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Berikut ini akan
dikemukakan beberapa contoh pemanfaatan organisme transgenik dan produk yang
dihasilkannya dalam berbagai bidang kehidupan manusia.
1.
Ubi kayu transgenik untuk lahan kering
Berkat inovasi dari
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), lahan kering bisa menjadi lahan
produktif yang menghasilkan tanaman pangan. Salah satunya adalah tanaman ubi
kayu atau singkong (Mannihot esculenta).
Ubi kayu transgenik adalah
hasil penelitian rekayasa genetika tanaman pangan dalam menyiasati perubahan
iklim yang lebih kering di masa depan. Ahli di LIPI mengidentifikasi dan
meng-sequence Gen penyandi phytoenesynthase (Psy) yang terlibat dalam
biosintesis beta karoten pada ubi kayu untuk konfirmasinya. Gen yang diperoleh
ini akan diintroduksi kembali ke tanaman ubi kayu. Beta karoten yang diduga
berkorelasi dengan ketahanan terhadap kekeringan.
Upaya untuk menghasilkan
ubi kayu yang mengandung kadar amilosa lebih tinggi dan lebih rendah juga
sedang dilakukan. Penelitian ini akan menghasilkan ubi kayu transgenik pertama
di dunia untuk varietas Indonesia. Amilosa merupakan komponen pati selain
amilopektin yang komposisinya secara alami adalah 20 persen untuk amilosa dan
80 persen untuk amilopektin. Kadar amilosa tinggi (amilopektin rendah)
diperlukan untuk industri pangan, khususnya makanan bagi orang yang memiliki
masalah dengan pencernaan dan untuk obat-obatan pada industri farmasi.
Sedangkan kadar amilosa rendah baik bagi pengolahan pada industri kertas dan
tekstil karena pengolahannya menjadi lebih mudah. Di LIPI sudah terbukti
kandungan amilosanya bisa dikurangi jadi hanya dua hingga tiga persen dari yang
alaminya 20 persen dengan cara transgenik ini.
2.
Jagung Bt
Jagung Bt merupakan
tanaman transgenik yang mempunyai ketahanan terhadap hama, di mana sifat
ketahanan tersebut diperoleh dari bakteri Bacillus thuringiensis. Salah
satu hambatan yang paling besar dalam upaya peningkatan produksi jagung adalah
serangan organisme pengganggu tanaman. Seperti hama dan penyakit tanaman.
Serangan pada tanaman jagung selain menurunkan produksi juga mengurangi pendapatan petani dan
adanya residu pestisida dalam jumlah besar yang menyebabkan polusi lingkungan.
Bacillus thuringiensis ditemukan pertama kali
pada tahun 1911 sebagai patogen pada ngengat (flour moth) dari Provinsi
Thuringia, Jerman. Bakteri ini digunakan sebagai produk insektisida komersial pertama
kali pada tahun 1938 di Perancis dan kemudian di Amerika Serikat (1950). Pada
tahun 1960-an, produk tersebut telah digantikan dengan galur bakteri yang lebih
patogen dan efektif melawan berbagai jenis insekta. Pada lingkungan dengan
kondisi yang baik dan nutrisi yang cukup, spora bakteri ini dapat terus hidup
dan melanjutkan pertumbuhan vegetatifnya. Bacillus thuringiensis dapat
ditemukan pada berbagai jenis tanaman, termasuk sayuran, kapas, tembakau, dan
tanaman hutan.
Bacillus thuringiensis (Bt) adalah
bakteri gram positif yang berbentuk batang, aerobik dan membentuk spora. Banyak
strain dari bakteri ini yang menghasilkan protein yang beracun bagi serangga.
Sejak diketahui potensi dari protein Kristal atau cry Bt sebagai agen
pengendali serangga, berbagai isolasi Bt mengandung berbagai jenis
protein kristal. Dan sampai saat ini telah diidentifikasi protein kristal yang
beracun terhadap larva dari berbagai ordo serangga yang menjadi hama pada
tanaman pangan dan hortikultura. Kebanyakan dari protein kristal tersebut lebih
ramah lingkungan karena mempunyai target yang spesifik yaitu tidak mematikan
serangga dan mudah terurai sehingga tidak menumpuk dan mencemari lingkungan.
Oleh karena itu Bakteri Bacillus thuringiensis (Bt) banyak
digunakan sebagai alternatif tanaman yang resisten terhadap hama.
Penggunaan teknologi
rekayasa genetik pada tanaman jagung menjadi jagung Bt berkembang pesat setelah pertama kali Gordonn-Kamm et al. (1990) berhasil
mendapatkan tanaman jagung transgenik yang fertil. Hal ini merupakan terobosan
dalam pengembangan dan pemanfaatan plasma nutfah dalam penelitian di bidang
biologi tanaman jagung.
Salah satu contoh negara
yang telah memanfaatkan Jagung Bt, yaitu di bagian Iowa, Amerika Serikat, yang
mempunyai 80% areal jagung Bt terjadi pengurangan penggunaan pestisida hingga
600 ton. Di Indonesia jagung Bt belum di kembangkan,padahal serangan hama
jagung khususnya penggerek tongkol (H. armigera) atau CEW dan penggerek batang
(O. furnacalis) atau ACB masih merupakan salah satu kendala dalam produksi
tanaman jagung.
Tanaman transgenik,
khususnya jagung Bt mempunyai prospek dan peluang untuk dimanfaatkan di
Indonesia. Hal ini mengingat pengalaman di berbagai negara lain yang telah menanam
jagung Bt dapat mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi petani. Manfaat jagung
Bt bagi petani tidak hanya berupa ketahanan terhadap serangga hama target dan
menurunkan pemakaian insektisida, tetapi juga dapat menurunkan tingkat
kontaminasi mikotoksin akibat serangan cendawan Fusarium.
Dalam meningkatkan mutu
hasil panen jagung Bt, pemerintah Indonesia melakukan sosialisasi kepada
masyarakat khususnya petani Indonesia untuk mengetahui pentingnya penanaman
jagung dengan metode penembakan partikel (Gun method) sehingga
menghasilkan kualitas jagung yang resisten terhadap hama. Selain menghasilkan
kualitas jagung yang resisten terhadap hama, juga mengurangi biaya produksi
dalam pembelian pestisida.
3.
Tebu
Hasil pengembangan tanaman
tebu telah menghasilkan jenis tebu produk rekayasa genetika (PRG) toleran
kekeringan. Tebu ini sudah selesai dan disetujui oleh Komisi Keamanan Hayati,
serta mendapatkan rekomendasi dari Menteri Lingkungan Hidup.
Bambang menjelaskan,
temuan tebu itu milik PT Perkebunan Nusantara XI Surabaya. Selain tebu PRG
toleran kekeringan, ia pun menciptakan tebu PRG rendemen tinggi dan tebu PRG
efisien pupuk fosfat. Untuk tebu rendemen tinggi, sedang menyusul untuk diuji
keamanan lingkungannya. Bambang yang juga Guru
Besar Biologi Molekuler Fakultas MIPA Universitas Jember menjelaskan, tanaman
tebu memiliki penyerapan air tinggi. Karena itu, diharapkan tebu PRG toleran
kekeringan bisa memberi jalan keluar bagi penanaman tebu di lahan kering atau
tegalan yang banyak di luar Jawa.
Produk itu diperoleh
dengan merakit struktur genetika tebu dengan memasukkan gen yang menghasilkan
betain atau asam amino. Keberadaan betain membuat tebu toleran terhadap kondisi
lahan kering. Pada uji terbatas, tebu
PRG punya rendemen lebih tinggi 1 persen dibandingkan tebu kontrol yang sebesar
7,83.
PTPN XI Surabaya telah
menyiapkan lahan 29.000 hektar untuk ditanami tebu transgenik. PTPN XI memiliki
67.000 hektar lahan dan 40 persennya lahan kering atau tegalan. Tebu PRG diyakini menjadi salah satu jalan keluar
meningkatkan produksi. Saat ini produktivitas tebu 70 ton gula per hektar per
tahun. Dengan tebu PRG, hasilnya meningkat 20 persen. Sementara itu, pengembangan tebu PRG rendemen tinggi
bekerja sama Universitas Jember dan Institut Teknologi Bandung dan tebu PRG
efisien pemupukan fosfat bersama Institut Pertanian Bogor.
4.
Pisang
Salah satu produk rekayasa
genetika tanaman yang terbaru adalah pisang, yang mana eksperimen ini telah
dilakukan oleh oleh staf pengajar Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan Fakultas
Pertanian, Universitas Andalas. Isolat-isolat Streptomyces sp yang menunjukkan
aktifitas penekanan terhadap pertumbuhan bakteri R. solanacearum diuji karakter
biokimianya meliputi: ekspresi enzim ekstraseluler (protease, selulase, dan
kitinase), pelarut mineral fosfat. Karakterisasi biokimia ini dilakukan
dengan menggunakan media indikator. Isolat bakteri yang digunakan adalah
seluruh isolat Streptomyces sp
yang berhasil diisolasi dan menunjukkan potensi biokontrol terhadap R. solanacearum maupun yang tidak
menunjukkan potensi antagonistik terhadap R.
solanacearum. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah keragaman
fenotip tersebut juga terjadi pada taraf molekuler.
Sebelum diekstrak semua
isolat ditumbuhkan di dalam medium YMA cair dan diinkubasi pada shaker rotary
suhu 300C, dengan kecepatan 100 rpm selama 24 jam. Karakter biokimia ini
dapat dihubungkan dengan peranan dari bakteri ini sebagai bakteri
antibiosis. Pengendalian hayati dengan menggunakan bakteri antagonis
dapat terjadi dengan metode antibiosis, kompetisi langsung dengan menghasilkan
enzim yang dapat menyebabkan lisis dinding sel bakteri. Streptomyces sp diketahui juga mampu mendegradasi dinding sel Fusarium
oxysporum dengan menghasilkan enzim kitinase dan selulase.
Enzim kitinase, proteinase
dan selulase merupakan enzim penting yang dihasilkan oleh bakteri antagonis
untuk mengendalikan patogen terutama patogen tular tanah, karena enzim ini
dapat mendegradasi senyawa-senyawa kitin, protein dan selullosa yang membangun
dinding sel patogen. Sel patogen, selulase dan proteinase digunakan oleh
bakteri untuk melakukan penetrasi secara aktif ke dalam jaringan inang terutama
bakteri yang bersifat endofitik.
Pengujian pendahuluan
menunjukkan bahwa Streptomyces sp. mampu menghasilkan senyawa
antibiotik. Senyawa ini mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen
sehingga perkembangan penyakit layu dapat diperlambat, senyawa ini mampu
melakukan penetrasi ke dalam sel patogen dan menghambat aktivitas sel.
Namun setelah bakteri R. solanacearum masuk kedalam jaringan xylem bibit
pisang, bakteri Streptomyces sp. tidak mampu menekan perkembangan penyakit layu
sehingga mengakibatkan tanaman menjadi terserang semuanya, hal ini diduga
bahwa Streptomyces sp. bukan kelompok bakteri yang termasuk kepada bakteri
endofitik sehingga aktifitasnya di dalam sel tidak sebaik diluar sel tanaman.
Hasil pengujian kemampuan Streptomyces sp. dalam memicu
pertumbuhan bibit pisang memperlihatkan bahwa semua isolat Streptomyces sp. memperlihatkan kemampuan ini. Mekanisme peningkatan pertumbuhan tanaman oleh
bakteri bisa terjadi dengan beberapa cara diantaranya melarutkan fosfat,
fiksasi nitrogen, merangsang pembentukan akar lateral, dan menghasilkan hormon
pertumbuhan seperti IAA dan sitokinin. P. fluorescens dilaporkan dapat
menghasilkan sitokinin
5.
Tomat Bt dan Kapas Bt
Tomat Bt yang mengandung gen Bt
mampu bertahan dari serangan hama karena menghasilkan toksin yang dapat
membunuh hamanya. Toksin pada kapas-Bt dan tomat-Bt disandikan oleh gen yang
berasal dari bakteri Bacillus
thuringiensis.
0 Response to "Produk Rekayasa Genetika Tanaman"
Post a Comment